Egr…!!!
Oleh : Muhammad Asyura
“ Hadigrhin * yang berbahagia…”
Suara Lopu mengelegar menembus dinding, jendela kaca, pentilasi, dan telingaku. Masuk lewat telinga kanan, lalu keluar dari telinga kiri. Hatinya berapi-api, terbakar oleh semangat menggebu tepat didepan ribuan pasang mata yang berkaca-kaca, khitmat dalam kebosanan dan ocehan kosong moderator serta pidatonya yang singkat, hanya sekitar tiga puluh menit.
Tiga puluh menit,kita disini…
Tanpa suara…
Dan aku le..lah, harus jujur padamu…
Tentang semua ini…
Jam dinding pun tertawa…, karnaku hanya diam…
Dan membisu
Ingin…,ku maki…,diriku sendiri…
Yang tak berkutik didepanmu…
(Pelangi dimatamu, Jamrud)
Aku menyanyi riang didepan Nete yang menyandarkan kepalanya dikursi depan peserta lomba lainnya. Bibirku semakin gatal, berdendang mendekatkan suara ini tepat ditelinga kirinya yang lebar. Semakin keras dan semakin keras menggema.
“Diam…, berisik…,” teriak Nete dengan mata yang memerah dan sembab.
Spontan Lopu terdiam. Bibirnya yang kejat,* tiba-tiba saja lentur mau copot. Api semangat yang membara, padam. Hanya asap yang mengepul yang tersisa, terlihat jelas dari raut wajahnya. Begitu juga dengan para pendengar setia yang khitmat itu, juga tersentak dan dan spontan mengeluarkan biji matanya dan mengorek telinganya, mencari sumber suara yang merdu menyilet hati. Juri yang terhormat itu pun, terbangun dari dari tidur kelamnya sejak tiga puluh menit yang lalu. Lama…Seperti tiga ratus tahun lamanya.
“Tegriiema*kasih …,Nete ,” sindir Lopu yang merasa dipermalukan didepan khalayak.
“ Lopu…tunggu…jangan pergi dulu…,” kataku sambil berlari menuju panggung menghampirinya.
“Sudahlah Aie…jangan difikirkan, biarkan saja dia.”
“Tapi…”
“Sudah tau R-nya berkarat, masih nekat ikut lomba pidato …,tak sadar diri!!!,” kata Nete dengan ringannya menyindir Lopu.
“ Nete…, apa yang baru saja kau katakan ?!,” jawabku.
Wajahku masam. Kecut, seperti asam payak yang biasa dijajakan oleh mamang-mamang ataupun Toke-toke* manisan. Tak sesuai seperti sebutannya “manisan”, tapi rasanya asam. Seharusnya “asaman”, dicolek dengan garam jadi “asinan”. Sama sepertiku saat ini, manis, asam, asin. Ramai rasanya. Namun, perasaan ini bukan sekantung permen Nano-nano dan juga bukan sebotol minuman bersoda yang yang menggelitik lidah. Lidah yang tak bertulang. Semaunya berkata-kata dan terkadang lidah yang lembut ini berubah menjadi busur panah yang setiap saat siap melepas panah berapi kepada siapa saja yang dianggap abnormal. Aku tak mau beradu mulut saat ini, yang terpenting Lopu dulu yang kukejar.
“Lopu …, kau baik-baik saja?,”tanyaku simpatik.
Dia hanya terdiam. Sama sekali tak menyadari kehadiranku. Termenung memandang langit biru yang cerah dan awan putih yang halus berhembus, Tapi itu palsu. Yang ada hanya kecewa didalam palung hatinya yang terdalam. Kugapai pundaknya untuk menyadarkan dari alam bawah sadarnya yang kelam. Sedikit bergaya seperti Master Hypnotis Romy Rafael yang beraksi dengan sugesti-sugestinya yang membuat korbannya mabuk kepalang.
“Paaak….”
Pipiku memar. Tangannya yang selebar kaki gajah, berayun bebas tanpa batas dipipi kiriku. Darahku mendidih, otakku meluap. Stempel cap lima jari yang gratis yang diberikannya diwajahku menjadikanku sebuah barang legal yang siap dijual dan ditawarkan di toko-toko maupun diemperan-emperan jalan.
“Sakit…kurang ajar…Lopu…”
“Aie…Aku…”
Pukulanku manghantam tepat kepipi kanannya yang putih mulus. Lebam*. Pukulan ini tak jauh berbeda tenaganya dengan Sakura dalam serial kartun Jepang, ”Naruto” karya emas Masashi Kishimoto. Lopu berlari kencang menjauh dari pukulan keduaku, sebab aku tak pernah memukul kurang dari satu kali. Bagiku, itu bukan pukulan, tapi ini adalah sebuah sentuhan kasih sayang. Sama seperti kasih Ibu yang sepanjang masa. Kalau Ibu melalui sentuhan dan belaian, sedangkan aku, dengan kepalan lima jari yang memukau. Bagiku, pukulan yang sesungguhnya adalah rasa sakit yang teramat sangatmenusuk hati. Salah satunya lewat sindiran, ocehan makian, dan sejenisnya.
Nafasku terputus-putus mengejarnya diluar Auditorium Polnep, tempat penghelatan akbaritu. Dari jejauhan, para pengendara sepeda motor sengaja berhenti, melihat dan memperhatikan tingkah laku kami berdua. Ini bukan pertunjukan gratis, bukan kasus KDRT yang dramatis, dan bukan pula film India yang dinamis dengan aktor and artisnya yang romantis, yang melenggak-lenggokan betis, yang membuat bengis siapa saja yang menontonnya.
“Apa…apa lihat-lihat….”sergahku sangar.
Gerombolan pengguna jalan tadi berhamburan kesudut-sudut kota. Tak ubahnya melihat Kuntilanak yang sedang marah digoda pria tampan si penggali kubur.
“Huh…kalian berdua memelukan..,”sambung Nete sambil menunjukkan tropi perak yang berkilauan seperti rambut yang baru saja dikeramas shampo Rejoice pada baliho ditepi jalan dan ditelevisi.
“Kau menang…?,”Tanya Lopu semu.
“Tentu saja, bagaimana Lo..pu..?!!,”tutur Nete mengedipkan matanya.
“Apa maksudmu Net…, kalau kau menyindir Lopu, berarti kau juga menyindirku juga,”jawabku spontan naik pitam.
“Oh…sejak kapan kalian berdua jadi satu hati ? akan jadi gossip hangat di sekolah nih.”
“Jadi kau ingin rasakan sentuhan kasih sayang ya…hah…,”
Lopu meregang tangan dan tubuhku yang spontan bringas tak terkendali. Tak henti-hentinya kugerakkan tubuh ini menuju Nete yang menyebalkan itu. Semua anggota tubuhku bergarak melawan regangan erat Lopu. Lagi-lagi pengendara motor di seberang sana berhenti melihat pertunjukan yang menarik. Aku bukan penari perut yang mengoda dan bukan pula sandera korban penculikan kasus trafficking.
“Baiklah…kita taruhan saja, jika aku menang dalam lomba puisi minggu depan, akan ku jambak rambutmu yang mulus itu,”tuturku geram.
“Huh…merepotkan juga ya…”
“Aku juga ikut lho…aku saingan kalian berdua…,”sambung Lopu optimis.
**************************^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^***************************************************
Seminggu berjalan begitu cepat. Inilah tanda-tanda hari kiamat. Satu tahun cepat seperti satu hari. Satu hari cepat seperti satu jam. Satu jam bgitu cepat berlalu seperti satu menit dan detik. Menghitung waktu itu menyebalkan.
“Apa …sudah pukul tujuh pagi…?!!,”teriakku histeris.
Aku bisa terlambat. Kali ini aku harus menang. Ingin sekali kuganyah* mulut besar Nete dengan piala uang tunai dan piagam penghargaanku agar ia tak banyak ngoceh, membuatku hati ini sakit.
“Maaf aku terlambat…”
“Ha…selalu begitu…dasar,”sahut Nete melirikku.
Aku tidak siap. Rambutku saja acak-acakan tak sempat ku sisir. Apa lagi ini bukan lomba puisi biasa. Sebentar lagi suaraku mengudara, melesat ketiap-tiap radio lewat gelombang elektromagnetik ke setiap permukiman di tanah khatulistiwa ini. Tentu saja di stasiun radio swasta yang mengundang para pendendang jiwa dengan kata-kata yang puitis, penuh dengan makna.
“Selanjutnya saudara Lopu Cahyadi…saya persilahkan…”
Ia mengambil langkah pertamanya menuju mikrophone khusus penyiar radio. Telinganya disempal dengan headset. Bibirnya gemetaran, grogi, gugup, takut, mulai menyerangnya berlahan. Bulu jaketnya pun berdirian.
ULAGRH*
Karya Emas : Lopu Cahyadi….
“Tidak mungkin…jangan-jangan puisi itu…yang seminggu lalu dibacakannya di kelas,”kataku dalam hati.
“Konyol sekali…kemarin saja dia dilempari bolpoin oleh Syasya di kelas,tik kreatif,”jawab Nete tersenyum lebar.
Semua peserta dan penyiar radio tertawa termehek-mehek, air matanya berkeluaran. Kali ini Aku tak bisa tertawa lagi. Aku tak bisa ambil diam dan membiarkan sahabatku dihina orang.
“Kriiiiiing…”
“Halo…apa…? Mau request puisi tadi…sorry banget…tak ada siaran ulang. kan sudah kusarankan untuk siap perekam manual, OK…!,”sahut penyiar radio yang mendapat telepon dari pendengar setia.
“Cukup…Lopu ayo kita pulang…!,”jawabku marah.
Al-balad*, langit bisa saja jadi gelap, tapi cahaya matahari pasti akan tiba dan tuntas menyinari ditengah hari. Sama sepertiku. Kutarik tangannya keluar dari neraka itu menuju pohon rindang dipersimpangan jalan. Tangannya dingin, wajahnya pucat.
“Maafkan aku…aku hanya bisa…”
“Ini bukan salahmu Aie…”
“Seharusnya kau…”
“Menyerah katamu…sudah cukup, aku hanya ingin diakui Nete,aku juga bisa.”
“Tapi…”
“Tak ada alasan bagiku untuk mundur…minggu depan yang terakhir, lomba drama bahasa Inggris antar SMA.”
Angin sepoi berhembus kearah kami berdua. Rambutku yang panjang dan terurai bebas mengikuti alur hembusan yang meyejukan qalbu merebah tanpa batas. Kuambil pisau cutter didalam tas dan kutunjukkan padanya.
“Laki-laki memang keras kepala…baiklah kalau keputusanmu begitu…,”tuturku halus.
“Ceeekkk…….”
Mata lopu terbelangak melihat tanganku merebah ke rambutku yang panjang ini. Kini gugur tersayat oleh empuhnya rambut. Kugenggam rambut ini dan kutunjukan kepadanya.
“Kau lihat ini…?”
“Apa yang kau…,”bentak Lopu keheranan.
“Rambut ini kesayanganku, kali ini kubiarkan dia bebas dan lepas…”
Angin sepoi itu berhembus lagi dan kulepaskan genggaman ini. Terbanglah sudah rambut-rambut panjangku itu bersama gugurnya dedaunan kering dari pohon rindang disamping kami berdiri. Mahkotaku, aku ingin dia seperti itu. Bersama semangatnya, mengikuti aliran dan arus kehidupan. Terbang, lepas, bersama impian dan harapannya serta mewujudkannya. Semoga saja ia mengerti.
******************************^^^^^^^^^^^^^^^^^****************************
“Aku…ikutan ya dalam lomba drama nanti…!!,”kata Lopu merayu Tere.
“Sorry, lowongan penuh, tak ada lagi jok,”jawab Tere sinis.
“Eeggm…jadi Lopu tak bisa ikut dalam tim drama kali ini ya..?,”sambungku diam-diam dari balik pintu.
Semua siswi di kelas tunduk takluk padaku dalam tim drama karena Bu Mariam mempercayakannya padaku. Beliau pulang kampung. Ini demi semangatnya. Selagi aku masih bisa bantu, tidak masalah kan?
“Wow…dua sejoli yang sedang main drama ya…? Terlalu mendramatisir…,”sahut Nete menggoda.
Sinting. Tak mau lagi kuladeni dia. Kuharap lomba kali ini tidak sehancur yang lalu-lalu. Tapi aku lupa, satu jam lagi pementasannya. Lopu paling cepat menghafal teks. Tapi…Jadi bingung begini. Ya sudahlah, aku hanya asisten guru, tugasku hanya memantau mereka latihan drama.…………………………………………………………………………………….
“Hey anak manja…bangun!!,”bentak Nete
“Brengsek, apa-apaan sih…”
“Kasihan sekali ya…kalian kalah… pengumuman pemenang baru saja dibacakan”
“Tidak mungkin…Lopu…”
Lopu tersenyum. Bibirnya melebar lima senti kekiri dan kekanan. Ya, ternayata ia telah mengerti semuannya. Sejakku mengenalnya, kutakut menyayanginya. Kenapa begitu, tapi sudahlah, pasti dia telah mengerti.
Sejakku menyayanginya, kutakut mencintainya. Sejakku mencintainya, kutakut kehilanganya. Oh…R-ku yang berkarat, mulutku tak perlu berucap, telingaku tak perlu mendengarkan, mataku gugur bak kelopak lobak gugur di musim semi mencarimu.
Dalam diam kutemukan asa yang mengelora dalam relung jiwa. Mencari segenggam rasa yang menyibak tabir asa yang selama ini kucari.
“Oh…R-ku yang berkarat…”
“Dasar sinting,,,,!!,”jawab Nete.
*****************************^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^**************************************************
KETERANGAN
1) Hadighrin = hadirin
Ulargh = ular
(Bagi orang yang penyebutan huruf ‘r’ tidak sempurna, jadi penulisannya salah, ditulis hanya untuk menunjukkan ekspresif khas tokoh dalam cerita. Ini adalah budaya berbahasa suku Melayu yang ada di Kalbar, sehingga secara fonologis penyebutan huruf ‘r’ terartikulasi tidak sempurna akibat banyaknya/ seringnya masyarakat Melayu menggunakan kosa kata yang berhaluan huruf ‘r’ contoh [aγaη] ‘arang’ atau [oγaη] ‘orang’ dan sebagainya.. Lebih jelas lagi bacalah buku kosa kata swades di Kota Pontianak dan Kab. Pontianak)
2) Toke-toke = sebutan bagi pria keturunan Tionghoa di Kota Pontianak.
3) Lebam (bahasa Melayu) = luka memar
4) Ganyah (bahasa Melayu) = menulek/menumbukkan dengan sesuatu
5) Al-balad (bahasa Arab) = negeri/kota
Terima kasih
LAMPIRAN
I. DATA PRIBADI
1. Nama lengkap/ NIM : Muhammad Asyura (F11110050)
2. Tempat / tanggal lahir : Pontianak, 11 Juni 1992
3. Jenis kelamin : Laki – Laki
4. Kewarganegaraan : Indonesia
5. Alamat : Jl. Komyos Suadarso
6. No. handphone : 085245501710
7. Agama : Islam
8. Status : Mahasiswa FKIP UNTAN Prodi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia.
II. RIWAYAT PENDIDIKAN
1. SDN 68 Pontianak, Tahun Lulus 2004
2. SMPN 5 Pontianak, Tahun lulus 2007
3. MAN 1 Pontianak, Tahun lulus 2010
4. FKIP Universitas Tanjungpura Prodi P. Bahasa dan Sastra Indonesia
Demikian Daftar Riwayat Hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Pontianak, 10 Maret 2010
(Muhammad Asyura)
NINJA OLEH: Muhammad Asyura
Bayangan hitam kelam melintas diantara semak-semak dan dedaunan pohon bakau Hempasan ombak dibibir pantai menambah jejak misterius itusemakin menjadi-jadi.Kicawan burung hantu tak dipedulikan dan senter kecil menemani jejak si pemangsa bertudung kepala yang ditakuti dan menebar teror malam di pesisir laut Cina Selatan.
“ah…ninja…ninja…tolong…!,”teriak salmah dari pembaringannya.
Diambilnya pentungan yang biasa ia pakai untuk memecahkan bongkahan es untuk berjualan es cendol keliling .Dipukulkannya ke arah kepala “ninja”sebutan masyarakat setempat yang merasa resah terhadap isu dan teror yang ditebar melalui aksinya yang amoral beraksi setiap malam di desa ini.Merasa kesakitan, dengan sigap ninja itu beraksi alias kabur menjauhi pentungan besi yang membuat kepala pecah karenanya.Apalah daya seorang gadis kurus tak bertenaga yang hanya bias mengayun-ayunkan pentungannya bertubi-tubi tapi hanya dua kali yang mengenai kepala ninja yang misterius itu.Usahanya tiada sia0-sia,dua kali diayunkan bocor sudah kepalanya.Bayangkan saja, bongkahan es seukuran balok-balok kayu bias hancur karenanya,apa lagi kepala manusia.
“Tolong…tolong…”
Teriakannya semakin menjadi-jadi.Tetangganya pun terbangun dari tidur kelamnya yang panjang dan melelahkan.
“Ape hal lah Salmah…?Wak Ujang ade,adepencuri,perampok,benyamun…semue takluk pada wak ujang…!,”jawab Wak Ujang sambil sesekali menguap dengan mata yang sembab.
“Ninja Wak Ujang…ninja…!”
“Ape…ninja…?tak bias dijadikan gurauan! Surti…eh Surti…kesini cepat..”
“Ape hal lah Bang ? Surti dah lelap lah..,”jawab Surti istri Wak Ujang.
“Ninja lekas dari rumah ni..”
“Bedebah…bukan gurauan, sebagai ketua PKK di desa ni, Salamah tak terima! Esok kite adekan konges ibu-ibu PKK.”
“bukan konges,tapi kongres Sutri..”
“salah sebut bah..jangan marah,”
“tapi saye maseh takut Bu,tolonglah saye,”Salmah memelas.
“malam ni,tiduk jak dulu di rumah Ibu,jangan risau,”
Dengan berbekal bantal guling dan baju tidur yang tipis,Salmah berjalan cepat menuju rumah tetangganya itu. Jarak dari rumah yang satu ke rumah lainnya cukup jauh,sehingga aksi nekad ninja semakin menjadi-jadi. Tak lupa juga pentungan besi itu diselitkan dikantung baju dasternya .
Trouma membekas difikiran gadis yang baru pindah dari Pontianak ke desa Garachak, Mempawah hilir ini. Betapa tidak,saat itu orang tuanya baru saja berangkat ke Singkawang untuk mengurus masalah tanah warisan keluarga. Hanya butuh lima menit,sudah cukup untuk membuat gadis itu tak betah,ditror,terancam dan ditakuti oleh lelaki hidung belang tak jelas asal-usulnya itu,dirumah orang tuanya yang baru empat bulan ditinggali.
******************************************
Pagi menyambut malam berganti,matanya tetap sembab memerah tanda terjaga dimalam yang panjang baginya,tidak untuk sebagian orang. Ia hanya bisa berbaring sambil sesekali memegang erat pentungannya itu. Seperti tidak terjadi apa-apa,Pak Ujang dan Bu Surti tetap saja terlelap pulas di kamar sebelah dengan nada dengkuran yang bersahut-sahut. Hal itu juga membuat telinga Salmah tak tahan sehingga matanya tak mampu lagi terpejam.
“Ala mak..udah jam delapan pagi,belum mandi,belum belanje”
“Bu Surti,saya nak balek ke Pontianak hari ini,nak ke tempat Mak cik saye,”
“Ngape pula sekejap tu,kite becakap lok tentang perkare semalam tuh,”
“Saye tak sannguplah,saye dah saket nih”
“Serahlah,emang tak beganti baju dulu ke? Bekemas lo’,bekincah”
“baiklah,makasih ye Bu,saye tak tau ape jadi bile tak de keluarge ibu bantu saye semalam”
Bergegaslah Bu surti mengumpulkan Ibu-ibu,gadis-gadis,janda-janda,serta bapak-bapak yang ada didesa itu bahkan Pak Kades. Tak perlu waktu lama seorang Surti untuk mengumpulkan masa. Rumah terasa sesak dengan para undangan yang hanya di suguhi lempeng bakar dan secangkir kopi asli dari kebun.
“Saye tak tau pasti kejadiaanye,begitu cepat”
“Ape hal?,”Tanya warga lainnya.
“Ninja muncul dari bawah kolong rumah Salmah,cobe merengguh,ape yang bise direngguh”
“Jadi…,” jawab pak Kades.
“Belum jadi ape-ape,die becadar sarung hitam,semue itam,masok tak bekabar,cuma tampak matenye yang kelap-kelip”
“pasti kerjaan orang punye ilmu hitam,serbe hitam,buat tumbal kali tuh”
“hah…tak,jadi anakku tumbal,”sahut salah seorang undangan.
“Ndak ke dah tujuh perempuan dah didatangkannye”
“kite beronde jak lah ni tiap malam,gimane? Siape tak sudi?,”jawab Pak Ujang
“itu bagus, saye dukung penuh…,”sahut Pak Kades.
Semua warga sepakat atas usulan Pak ujang. Semuannya bubar teratur dengan lempeng dan kopi yang lesap.tak seorang pun yang protes.
Malam harinya semua warga bergegas ke pos ronda untuk mengatur jadwal. Yang bertugas diwajibkan untuk keliling kampong. Begitu juga dengan Ibu-ibu dan anak-anaknya yang talah siap denagn peralatan dapurnya denagn sambutan yang hangat kepada tamu tak di undang ”ninja” dengan ramahnya. Namun,tamu yang ditunggu tak menampakkan batang hidungnya. Yang hadir hanya rasa bosan,kantuk dan capai yang merasuki sanubari para perempuan dan laki-laki didesa itu hingga pagi tak terasa telah menjelang.
“Bu Surti…,saya mau bicara sebentar,’kata Mbok Ijem,Ibu setengah baya yang malu-malumenghampiri bu Surtiyang sedang asyik dengan masakannya di dapur. Suara khas mendoknya terdengar beda dari yang lainnya.
“Ade ape ye Mbok,ambil jak daun salam saye tuh,saye tak marah bah,untuk suami Mbok kan yang sakit liver?,”jawab Surti ramah.
“Bukanitu..ndok,tapi..”
“Ngomong saje lah..”
“Tadi malam saya didatangkan ninja Bu..”
“ha..ha…ha..,Mbok suke begurau ni…”
“benar…saye tak bohong”
“Mbok harus tau,orang-orang sini dah ronde semalam,Ibu-ibu gitu,walau cume dirumah..tak de pulak bende tuh”
“Tapi saya sudah..”
“Sudah ape…,”jawab Bu Surti sambil melirik.
“di…”
“Udahlah Mbok,pasti cume ilusi Embok je,ambil jak daun salam tu,saye tak marah bah…”
Dengan berat hati,Mbok Ijem pun ulang dengan langkahnya yang rapuh. Bu Surti tidak percaya akan kata-kata yang baru saja ia dengar itu. Selain umurnya sudah 45 tahun dan penampilannya yang jauh dari sempurna itu,hanya membuat Bu Surti gemas,alias iri kepadanya. Siapa sebenarnya ninja itu. Padahal dirumahnya itu hanya berbaring suaminya Mbok Ijem yang terserang stroke dan sakit liver dan hanya dia sendiri yang mencari nafkah menjual tempe keliling. Tak dianugerahi anak,BuSurti hanya menganggapnya sebuah cerita yang di rekayasa,mencari simpati warga dengan sensasi baru.
Hari ke-dua,ke-tiga, dan hari ke-empat..,Mbok Ijem tetap saja menghampiri Bu Surti,tentunya dengan berita yang sama,mengaku telah dimasuki ninja misterius setiap malam yang kelam. Hatinya meluap-luap. Pada hari ke-lima semuanya telah meledak. Ia tak mampu lagi menahan rasa kesalnya kepada Embok Ijem yang selalu mengada-ada dan mengarang-ngarang cerita yang tidak masuk akal itu.
“Jangan tersinggung ya Mbok…siape sih yang mau same Mbok? Udah keriput,itam,hidup agik tuh…,”Bu Surti menyindir.
“Sudahlah,saya kira Ibu orang yang iangin tau tentang itu..,”jawab Mbok slow.
“Hu..dasar aneh,”ejek Bu Surti didalam hati.
Mbok Ijem pun tak bisa berbuat apa-apa. Suaminyayang tak berdaya dipembaringan hanya bisa terdiammenyaksikkan semua yang terjadi. Rumah yang ala kadarnya juga membuat aksi ninjabercadar sarung itu semakin mempermudah kejadian ayng aneh itu. Atapnya hanya atap rumbia beralaskan pasir pantai dikelilingi hutan bakau yang lebat. Dindingnya anyaman bamboo berpilar kayu lempung yang apabila laut mengamuk,habislah sudah. Inilah gubuk derita.
Malam berikutnya,ninja tiba untuk menuntaskan masalahnya denagn mengintip keanyaman bambu yang mereka sebut tembok. Solah telah siap dan rela menyerahkan seganap jiwa dan raganya,Mbok hanya berbaring memalingkan wajahnya dari suami tercinta. Rasa takutnya menyerang. Daripada ia terluka maupun suaminya tewas,itulah yang harus wanita tua itu lakukan. Tangan suaminya yang rentah berbalik seratus derajat menjadi tangan besi menghantap punggung ninja dibantalan tidurnya. Kuasa Tuhan ,stroke yang selama ini menjadikannya kaku berubah jadi kekuatan yang luar biasa sehingga ninja terkejut bukan kepalang dan lari kocar-kacir. Dengan sigap lenyap hilang ditelan kegelapan malam. Mbok hanya terdiap seribu bahasa.
Dipagi buta dimana fajar masih malu-malu menampakkan dirinya,Wak Ujangmulai bangun untuk mengambil kayu bakau dan mencari kepah sebagai lauk dan kayu bakarnya dipesisir pantai antara pemukiman dan lebatnya hutan bakau. Tidak lupa juga Iamembawa beras kuning ,breteh,sekapur sirih,daun pandan dan yang lainnya sebagai ritual adat kebiasaan masyarakat pencari kepah alias karang bakau yang konon dianggap keramat. Buang-buang diair dan buang-buang didarat istilah bagi mereka. Tak sengaja Wak Ujang melihat sosok misterius dari celah pepohonan bakau yang tumbuh subur itu. Dilemparnya beberapa kepah hasilhasil buruannya hingga habis kearah mahluk aneh itu. Ia tak menyangka bahwa makhluk itu adalah ninja. Dikejarnya sekuat tenaga dan pertempuran sengit pun tak terhindarkan antara Wak Ujang VS Ninjamisterius dari negeri sakura. Tak seperti ninja pada umumnya yang membawa syuriken dan kunai runcing,ninja itu hanya berbekal senter kecil dan sarung hitam yang menutupi parasnya yang anggun. Tapi tentunya tak seanggun Angguun C,Sasmita yang telah go internasional. Wak Ujang sudah kelelehan,menejar dan menerkamnya,ditambah lagi perutnya yang buncit menjerit-jerit minta di isi dengan kerang laut yang sedap dibakar dengan sambal kecap. Dia tak mampu berbuat banyak,usaha terakhirnya hanya menjambak kain sarungcadar indahnya yang menawan itu.seratus jambakan tak mempan,tapi takkan terhindar lagi dengan seribu jambakan yang telah terlatih setiap malam Jumat mencari kepah disela-sela pohon bakau dan anyaunya lumpur dan pasir pantai.
“Ah..ape ni? Pak,pak..,ka,kades…,”mata Ujang terbelangak dan terdiam seribu bahasa.
“Ujang…ujang tolong jangan..”
“Jadi semase ni…tak sangke saye…,”
“Tolong… saye akan angkat kamu sebagai Sekdes,asal…”
“Benar ke? Tapi ade syaratnye…”
“Jangan ganggu Nk Dare mane pun,dan jangan lupa gantikan kepah aku yang ku lempar ke kau…Ninja…”
“Biklah,tapi..”
“Ye…Bapak mau oaring kampong tau tabiat bapak ni…”
“Ya..ya…saya setuju..”
“Tak genalah orang ni…syarap…,”jawap Wak Ujang dalam hati.
Pagi harinya salah seorang dari warga yang mencari kepah menemukan selembar kertas yang lecek diantara yang tumbang-tindih entah kenapa. Kedasyatan pertarungan dipagi buta itu masih dapat dilihat dari keadaan pohon disekitar TKP yang berantakan. Dibukanya kertas lecekm itu dan ternyata hanya sebuah puisi yang entah itu punya Wak Ujang atau ninja. Bergegas laki-laki itu kerumah Pak Kades menyerahkan kertas tadi . keringat dingin keluar dari ubun-ubun kepala Pak Kades. Kertas itu miliknya yang tercecer dari saku celananya yang sobek akibat jambakan Wak Ujang rencananya untuk membaca puisi itu dalam acara kampanye politik,sirna.
“Ni ape Pak Kades..saye tak pandai bace sejak kecik,”
“Oh..ni Cuma sampah yang hanyut dibawa ombak laut,itulah,kita harus menjaga kebersihan desa,jangan buang sampah dilaut atau di hutan bakau ya…,”jawab Kades denagn nada bijaksana.
Perasaan lega menyertai dirinya. Syukur warga tadi tak dapat baca tulis dan tak banyak protes. Padahal dipuisi itu tertulis jelas namanya,walaupun puisi itu bukan hasil karyanya. Dibakarnya langsung kertas lecek itu yang berisi :
SUMPAH SERAPAH
Politikus-politikus
Menghambur janji sumpah serapah
Merayu…menggoda…
Dengan bibirnya yang tajam
Setajam silet
Persetan atas segala janjidan sumpah serapahnya
Dasar…
Kau hanya penjilat pantat pejabat
Persetan…atas segala yang ada
Karena kau hanya
Tikus-tikus nakal
Penjilat pantat pejabat
Pencuri hati rakyat,dengan bibirmu..
Persetan,atas segala sumpah serapahmu
Digubuk derita milik Mbok Ijem tampak sunyi senyap. Suaminya yang dahulu tak mampu bergerak,kini telah beranjak menjauh dari sisinya. Ia hanya diam sambil sesekali mengintip dari tembok anyaman bambunya.
Seperti malam-malam sebelumnya. Ia tetap saja berbaring dipembaringannya .dalam hatinya ia berkata.
“Dimanakah gerangan ninja itu tak pernah kembali….?”
Ia pun tetap menunggu dan menunggu dimalam-malam yang kelam
Suara munafik oleh:Muhammad Asyura
Riang.Mungkin perasaanku sedang riang. Atau mungkin juga suram,mendung,atau bimbang atau hati yang marah. Tapi aku buakanlah riang,bukan juga suram yang tenggelam.
“Bodoh…bodoh…bo..doh…!!,”terikku dalam hati.
Harusnya aku bangga. Tapi mengapa begini. Seolah luka lama terkuak kembali. Tapi tak ada luka. Seolah aku kecewa. Tapi apa yang kukecewakan. Aneh bin ajaib. Sudahlah.
“Terima kasih,atas perhatiannya. Mungkin saya tidak bisa berkata banyak…,”kataku ringan.
Biasanya aku tidak gugup begini.Padahal setiap lomba,seminar,workshop,debat,eslalau ada batang hidungku. Tetapi jangan seperti yang dibayangkan. Aku bukan seorang juri,politikus,tokohmasyarakat,bahkan aku hanyalah siswi aneh yang mencoba peruntungannya diajang-ajang bergengsi. Tidak selalu menang dan tidak selalu kalah,bahkan tak mau mengalah. Padahal ini hanyaseminar biasa,dilingkungan sekolah di dalam aula ynag besarnya sepertiga Grand Mahkota Hotel,hanya saja lebih lebih mungil dan tak setinggi dan semegah gedung itu.
“aku mulai dari mana…? Oh ya Tuhan…tolong aku,”kataku bingung.
Lagi-lagi teriakan dalam hati merasuk. Aku teringat pada kisah lama. Atau mungkin tidak lama. Ini bukan hal mudah,apa lagi aku diharapkan untuk bisa memberikan motivasi dan wejangan-wejangan yang positif kepada adik-adik kelas yang penuh perhatian. Ya, itu sebagian saja.
Maudi Septa Virganio. Namanya terdengar keren di telingaku. Apakah mungkin telingaku agak congek*ya. Bertemu dengannya membuat hati ini merinding. Padahal bukan hantu di film-film horor. Terlalu lebai. Tentu saja begitu,sebab selama tiga tahun aku tak pernah bertatap muka sejak tamat SMP. Aku rindu suaranya.
Suara…dengarkanlah aku
Apa kabarnya,pujaan hatiku …
Aku…disini menunggunya
Masih berharap,didalam hatinya. U wo..ho…ho…(suara, Luna Maya)
Aku mulai dengan nyayian merdu itu. Anggap saja aku sedang curhat pada adik-adik ini. So sweet…mual dan mau muntah. Jadi ingat kasus heboh Luna Maya. Sudahlah,itu tidak baik.
Maudy datang padaku dan dan mencoba memelukku erat. Ku tepis,sambil menepalkan jemariku kea rahnya.
“Sejak kapan kau jadi brengsek…!,”kataku dengan pipi yang memerah.
“Maaf…aku hanya rindu,”katanya merdu.
“So sweet…wit..wit..wit..,”hatiku berdendang.
Segera ku pukul hatiku ini. Dia bukan siapa-siapaku lagi. Dia hanyalah sembilan huruf “B.E.R.E.N.G.S.E.K” ,sayangnya tidak bisa digenap jadi sepuluh huruf.
“Mau apa kau?,”jawabku sinis.
“Tidak,hanya mau tahu saja tentang teman-teman lama,”jawabnya.
Kasidah,apa maunya. Mereka semuaberubah. Angga Prasetyo,dulunya periang dan suka iseng,tapi kini jadi dewasa dan pendiam.Mungkin Karena tragedi itu. Sebaliknya,Ayu tumbuh menjadi gadis tegas dan penuh percaya diri. Sedangkan aku,tetap seperti dulu. Hanya saja lebih beruntung. Dulunya aku pendiam,tapi aku sekarang agak comel,pentendiri jadi gaul,tidak pintar tapi punya segudang prestasi,disanjung banyak orang dan dapat gelar terhormat di sekolah “Siswa Terbaik dan Berprestasi tahun 2010”. Itu,kusebut keberuntungan.tapi aku,tetaplah aku yang dulu. Pemalu,apa lagi dihadapan pria seperti dia.betulkan Ipin,betul…betul…betul…
Dia bertanya tentang kabar adikku yang imut-imut itu. Umurnya baru lima tahun. Tapi aku hanya diam. Lama. Bahkan membuatnya menunggu dengan matanya yang berkaca-kaca.
“Kenapa…?kenapa diam begitu?,”kata Maudy menyentuh rambutku.
“One Last Breath”ku tarik satu nafas dan semoga ini bukan nafas terakhir. Mulai dari dua kata “telah kembali”. Ternyata dia tetap seperti dulu “lola”,loding lama. Kukuatkan saja hati ini.
“Adikku…meningal tujuh bulan yang lalu …”
Kali ini justru dia yang terdiam seribu bahasa,termenung dan meratap.
“Mengapa begitu cepat…? kenapa…,”teriaknya.
Aneh,kenapa dia jadi lebihhisteris. Aku bodoh sekali. Dia juga pernah merasakan apa yang aku rasakan selama ini,bahkan lebih. Ayah,kakak,kakeknya…
“Hey…kau ingat si Peng…,”katadengan senyum palsu.
Pembicaraan segera ku alihkan,tapi tak berhasil.justru wajahnya memasam menatapku. Ia kira aku ini perempuan batu,begitu mudahnya melupakan hal-hal baik. Tersenyum saat sedih dan menangis saat bahagia.
“Kau perempuan aneh…mengapa mengalihkan pembicaraan,”katanya marah.
“Tunggu…jangan pergi dulu,”kataku.
Kugenggam dan kutarik tangannya. Saat dia berniat untuk meninggalkanku,saat itu pula angin berhembus membawa ratusan daun kering yang berguguran dan angan pilu bersamanya dulu.
“Kau laki-laki yang paling bodoh yang pernah ku jumpai,kau ini tidak bertanggungjawab ya…,dengarkan aku dulu…!!,”teriakku kesal.
Enak saja mau pergi setelah ia membiarkanku kembali mengingat kenangan yang membuatku termenung setiap saat aku merasa sendiri. Air mataku tak kuasa untukku tahan. Aku bukan orang yang cengeng.Air mata ini tak setetes pun mengalir deras saat cahayaku telah kembali kepada pemilik cahaya yang sesungguhnya,pemilik aku dan dirinya.aku janji akan membekukan air mata di hati,aku janji.
“ Adikku itu sama dengan si Peng..,”kataku pelan.
“Huh,sejak kau sekolah agama,kau jadi agak sinting ya..,kau..”
“’Bukan begitu..!!”
Peng. Nama yang aneh untuk seekor anak burung beo yang bahkan bulunya saja belum tumbuh,penuh kutu dan doyan makan. Cerewet,selalu menunggu di dalam sangkar jati dengan seribu ukiran. Dirawat dan dijaga setiap saat. Kotorannya yang menjijikan itu pun harus kami bersihkan setiap pagi. Kutunya berloncatan riang di sela-sela bulunya yang halus saat ku suapkan makan burung yang kuencerkan bersama Maudy.aku tak tahan lagi. Mulutnya terbuka selalu untuk semua yang bisa ditelan bulat-bulat.
Tak ubahnya dia,adikku. Hanya saja lebih mulia jika di bandingkan dengan segala jenis burung dari surga mana pun. Manusia pada hakikatnya selalu di dalam sangkar yang kita sebut naungan. Naungan dari siapa? Tentunya dari Tuhan. Manusia dan kehidupannya takkan bisa lepas atau pun lari dari Tuhan,walau manusia itu atheis dan ingkar sekalipun. Aku sebut Dia cahaya yang paling terang yang tidak hanya mengusai cahaya itu sendiri,tapi segalanya milik-Nya Yang Agung. Yang tak pernah tidur dan selalu menjaga arsyinya dan mahluk yang Ia kasihi di alam semesta ini. Peng juga. Saat mulai dewasa,saatnyalah ia belajar bicara. Walau hanya bisa bilang “Asalamualikom..Emak…mak…mak…,”tak bisa terbang bebas,disayang dan dijaga. Apa lagi ketika Nene,kucing putihku yang imut-imut itu menerkam sangkarnya dengan kuku-kukunya yang runcing membuat Peng kocar-kacir.
“Kurang ajar…get out you Nene…!!,”geramku.
“Hentikan ..,”Maudy meregang.
Ditahanya batang penyapu yang kokoh itu dari tangankuyang garam tak tahan lagi.Dilemparkannya sapu lidi kea rah Nene,justu kini yang terbalik keadaanya. Nene tekanjat* bukan kepalang. Penjagaan yang hebat. Aku percaya Tuhan Maha Pelindung dari segala pelindung terbaik,Dia menjaga adikku dari segala macam keburukan dan kehinaan yang kusebut dunia. Dunia ini tak ubahnya kotoran anjingbila kau terjerumus kedalam gelap dan gemerlapnya malam. Aku rela,aku ikhlas,seperti Peng yang sengaja dijual keorang lain karena Ibunya Maudy tak punya cukup uang untuk melunasi SPP anaknya yang sudah menunggak empat bulan. Dia tampak kesal dan sedih,tapi apa daya tangan tak sampai. Kini dia bebas bermain dan dijaga di surge,Peng juga,dirawat oleh orang kayadi Jakarta. Dia burung mulia disana,paling mahal,unik, dan hanya orang berdasi yang nekat punya benda hidup merepotkan seperti Peng.
Keikhlasanku mengalahkan kesedihanku selama ini. Bahkan tak ada air mata saat jasadnya yang mungil itu dimasukkan berlahan ke liang lahat. Aku hanya tersenyum. Aku percaya disanadia dalam kedamaian dan keagungan serta kasih sayang Tuhan Sang Khalik. Dunia yang hina ini,bisa saja jadi indah bila dipenuhi manusia-manusia yang peduli.
“Huh…kau ini benar kau yang dulu,aku pergi,salam buat teman-teman yang lain,’kata Maudy sambil melambaikan tangannya dan memalingkan wajahnya yang tampan itu.
“Maha indah Allah atas segala ciptaan-Nya…,”
Tepuk tangan dan siulan maut membahana di segala penjuru aula,bahkan menembus langit biru diluar sana.tak banyak juga yang berteteskan air mata. Aku merasa bersalah,tapi rasanya lega dan enteng aja sekarang.
“Speak controlnya dapat,religinya OK,penghayatannya keren,saya harap kamu masuk ke babak selanjutnya,berbakat jadi artis…,”kata MC yang tiba-tiba saja ambil bagian.
“Hah…tapi ini belum selesai lho…,”sambungku.
Serentak suara lenyap,jangkrik pun menahan suaranya yang merdu di semak-semak belakang aula.aku bukan tipe orang yang konsisiten. Dalam tayangan faforitku “Mario Teguh Golden Ways” aku lebih tersentak. Beliau menungkapkan tentang berdamai dengan masa lalu. Intinya,aku harus menjadi orang baik dengan mengingat masa lalu tanpa menyertai emosi kedalam memori itu. Orang bijak selalu selalu mengingat masa lalu yang baik untuknyaagar menimbulkan rasa bangga terhadap dirinya dimasa lalu. Semua itu agar tidak tercipta kata “TAPI” dalam mengungkapkan kesalahan dan rasa kesalnya. Menjadikan “TAPI” sebagai senjata jitu mengungkapkan kesalahan agar terbungkus dengan kebaikan,salah tetaplah salah,benar itu adalah benar.
Sebenarnya hati ini lebih kepada Maudy dan kurasa dia juga begitu. Namun sepasang mata yang bersinar selalu mengintaiku. Mata yang cemerlang,mengikis habis kecurigaan burukku pada semua orang yang menatapku dengan tatapan kosong. Grogi abis aku memandangnya,karena dia ada di tempat ini,tempat dimana aku berdiri sekarang. Au tepis Maudy sambil menunggu mata yang tak jelas apa dia punya rasa.
Pak Mario dengan “zuuupeernya” memberikan study kasus kepada semua audiens,tak terkecuali aku yang asyik menatapnya sejauh tiga puluh senti dari layar televisi sebagai awal penjelasannya tentang menjadi orang baik,jahat,dan munafik. Kami harus memilih hal yang sebenarnya sederhana,tapi membingungkan bagiku. Mantan pacar minta kembali menyambung hubungan yang tlah berakhir,dengan dalih masih sayang setengah mati. Masalahnya jika kita sudah ada gebetan baru yang yang zuuupeer.
Yang pertama tentunya kembali kepada yang lama,lepaskan yang baru. Pilihan kedua cukup kejam,memacari keduanya dan membalas sakit yang amat dalam akibat ditinggalkan belahan jiwa oleh yang pertama. Ini yang paling romantik,menolaknya walaupun setengah jiwa ragaku hilang dan mencoba menanam benih-benih baru ditanah gersang yang aku sendiri tak tau apa yang jiwa baru itu ada rasa yang gimana gitu. Jadi pembohong besar.
Wow,aku pilih yang ketiga dong. Ini bukan pendustaan yang besar bagiku. Saam seperti saat ini. Tapi aku masih bingung,apa maksudnya. Apa aku salah. Entahlah. Aku tak berharap banyak kepada mata itu,mata yang selalu tajammemandang. Atau mungkin hanya menunggu mata-mata yang lainnya bersinar untuk memilih pilihan yang bijak tentang hati. Dimana orang baik akan selalu baik dan aku benci oaring munafik yang sok baik tapi jadi jahat dan melukai orang baik.
“Aku benci….,”suara hatiku menjerit.
***************************^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^****************************
KETERANGAN :
1. Congek (bahasa Melayu) : tuli
2. Tekanjat (bahasa Melayu) : terkejut
‘
SATU KATA UNTUK BULEK
Oleh : Muhammad Asyura
Dia mungkin tampan. Sebuah gambaran unik untuk seorang yang keren dengan tatapan tajam yang energik. Tubuhnya tidak tegap, berkulit gelap dan dihiasi noda-noda hitam bekas jerawat didahi kirinya. Kelap-kelip disiang hari dan samar dimalam yang klam. Aura pribuminya tampak jelas saat diriku yang baru saja dua pecan yang lalu menginjakkan kaki di Borneo Barat ini, tampak riang bermandikan cahaya. Ya, tentu saja kota Pontianak. Kota “bersinar”. Bersih, aman,dan rapi, ya…menurutku itu bukan hanya sebuah singkatan, namun ini juga sebuah harapan untuk negeri yang katanya anyau* atau bahasa kerennya, rawa-rawa. Alfalink selalu menyertai disaku kiriku untuk jaga-jaga. Maklum saja, jiwa petualangku membara untuk singgah beberapa waktu sekaligus cari inspirasi untuk tugas kuliah ilmu budaya dunia, tugas untuk musim panas kali ini.
Sedikit kesal dengan nasib. Ingin hati kuliah di universitas etrkeren di negeri Paman Sam yang adidaya itu, malah terdampar di Cambridge Univercity. Nasib, ya itulah nasib. Jalani saja apa adanya. Toh, ada si Tampan juga disisiku.
“Bulek…kau sudah gila ya..,”teriaknya mengejutkan.
“bibirku tak tahan melemparkan senyum ikhlas tanpa dusta tepat dikedua bola matanya itu.
“Senyum-senyum lagi, sinting…”
“ Sebentar, s.i.n.t.i.n.g …,”kataku sambil menetik kata “sinting” dialfalink Indonesia- Inggris.
“What…crazy…”
“Dasar Bulek aneh…aku tidak terlalu pandai bahasa Inggris dan kau tak terlalu lancar bahasa Indonesia, ngomong saja remedial begitu,”jawabnya gusar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar